Sabtu, 13 Agustus 2022

Penjelasan Tauhid Fan Wal Baqo Oleh Raden Syair Langit

 


TAUHID FANA WAL BAQO


Fana memiliki arti musnah atau lenyap. Dapat juga berarti hilangnya wujud sesuatu. Sedangkan baqo adalah sifat Salbiyah, artinya sifat yang mencabut atau menolak adanya kebinasaan wujud Allah. Dalam arti lain bahwa keberadaan Allah itu kekal, berlanjut tidak binasa atau rusak.

Sifat dua puluh yang wajib bagi Allah terbagi menjadi empat bagian.

1. Sifat Nafsiyah, yaitu sifat wajib bagi Allah yang adanya tidak disebabkan oleh sesuatu sebab apapun. Yang termasuk dalam sifat ini adalah sifat Wujud. ( 1 sifat )

2. Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang menafikan semua sifat yang tidak layak bagi Allah. Yang termasuk dalam sifat ini adalah sifat Qidam, Baqa, Mukhalafatun Lilhawaditsi, Qiyamuhu Binafsihi, dan Wahdaniyah.

( 5 sifat )

3. Sifat Ma’ani, yaitu sifat yang ada pada Dzat Allah yang maujud. Yang termasuk dalam sifat ini adalah sifat Qudrat, Iradat, ‘Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, dan Kalam. ( 7 sifat )

4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu sifat yang tetap bagi Dzat Allah. Yang termasuk dalam sifat ini adalah sifat-sifat Qadiron, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran, dan Mutakalliman. ( 7 sifat ).

Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur alam semesta. Dia selalu ada selama-lamanya dan tidak akan binasa untuk mengatur ciptaan-Nya. Hanya kepada-Nya seluruh kehidupan ini akan kembali.

Sesuai dengan firman Allah SWT,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

”Segala sesuatu itu akan rusak, binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

(Al-Qashash: 88).

Konsep dalam Thoriqoh yang diajarkan Raden Syair Langit mengkerucut pada Maha Guru Mursyid-nya yaitu Sultonul Auliya Syekh Thoifur bin Isa bin Surusyan Abu Yazid Al-Busthami, seorang mistikus kedalam Tuhan. Dan ajaran itupun juga yang didakwahkan oleh penerusnya di dekade-dekade selanjutnya setelah Syekh Thoifur, seperti halnya oleh Kanjeng Syekh Sayid Hasan Ali, atau kita kenal dengan nama lain, Kanjeng Syekh Siti Jenar, Syekh Lemah Abang, Syekh Lemah Birt, Syekh Abdul Jalil, yang termasuk pada kumpulan Para Masyaikh di Tarekat Thaifuriyah Ma’had Thoriqotul Auliya.

Imam Junaidi Al Baghdadi mengatakan, yang dimaksud dengan fana adalah hilangnya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi, karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indra, kecuali Allah.

Syekh Abu Bakr  Al-Kalabadzi mendefinisikan fana’ dengan hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.

Fana’ mempunyai beberapa pengertian.

Pertama, fana’ ash-shifat, yaitu lenyapnya sifat yang tercela, berganti dengan baqa’ tetapnya sifat yang baik.

Kedua,  fana’ al-iradah, yaitu fana’-nya manusia dari kehendaknya, berganti dengan tetapnya kehendak Tuhan pada dirinya.

Ketiga, fana’ ‘an-nafs, yaitu hilangnya kesadaran manusia terhadap dirinya berganti dengan tetapnya kesadaran tentang Allah pada diri sufi. Fana’ ‘an-nafs digambarkan sebagai hancurnyan kesadaran pencinta dalam yang dicintai sehingga pencinta tidak menyadari dirinya, yang disadari hanyalah yang dicintainya yaitu Allah.

Syekh Ibnu Arabi memberikan dua pengertian tentang fana’,

Fana’ dalam pengertian mistik, yaitu hilangnya ketidaktahuan dan tinggalah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui instuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia menyadari noneksistensi esensial itu sebagai suatu bentuk. Atau hilangnya kesadaran atau perasaan seorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ke-akuannya serta alam sekitarnya.

Fana’ juga berarti hilangnya bentuk-bentuk dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah fana’nya bentuk itu pada saat Tuhan memaniestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain.

Fana’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala fenomena alam, sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqa’) didalam kesadarannya adalah wujud mutlak. Dalam sufisme, seseorang mengharapkan kematian sebelum datangnya kematian. Maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia, sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semata, keadaan yang kedua ini dinamakan baqa’.

Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana’ artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.

Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana’ adalah lenyapnya inderawi, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ke-Tuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam baru, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana’ dari alam ciptaan makhluk.

Beberapa Guru sufi menjelaskan sebuah pemusnahan yang dikenal dengan fana’ al-fana’ (puncak segala pemusnahan). Dengan cara ini mereka bermaksud memusnahkan dirinya dihadapan keagungan Allah, melahirkan baqo’ yang benar-benar terlepas dari segala keterikatan, menghilangkan seluruh kepribadiannya, demi untuk mencapai fana’ fillah (pemusnahan diri menuju Allah. Baqa’ berarti tetap. Atau menetap dalam Allah SWT untuk selamanya.

Adapun dalam pemahaman dunia tasawuf adalah mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqo’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Baqo’ merupakan tahap ketiga dan terakhir berupa fana’ diri ( ta’alluq / keterkaitan ).

Baqo’ merupakan istilah teknis dikalangan sufi. Menurut pandangan sufi, setelah melalui kegiatan spiritual, penghayatan dzikir, pencurahan terhadap segala sifat kebajikan, pengabdian yang sebenarnya terhadap Allah, pemusnahan dan penghapusaan unsur-unsur kejiwaan (fana’) maka yang tersisa dalam diri sufi adalah sesuatu yang hakiki dan sesuatu yang abadi dibalik segala penampilan luaran.

Dalam perjalanan spiritual, sesudah tahap fana’ (fana’ fillah) Allah menetapkan hamba-Nya dalam kedudukan segala kedudukan (maqam al-maqamat), atau Dia menyuruh kembali kedunia untuk menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Sehingga ada istilah al-baqa’ ba’da al-fana’ (keabadian sesudah ke-fana’-an). Kaum arif menetapkan dalam Allah, tetapi pergi kembali kepada makhluk dengan cinta, kemurahan, kehormatan, dan kemuliaan.

Baqo’ ba’da al-fana’ ditunjukkan kepada manusia paripurna yang harus bekerja dan beramal di dunia supaya membimbing dan menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Jika tidak ada yang harus dikerjakan, Allah menyibukkan hamba-Nya dengan diri-Nya sendiri dalam kedudukan segala kedudukan (maqam al-maqamat).

Sebagai akibat dari fana’ adalah baqo’ berarti kekal. Secara harfiah baqo’ berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqo’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Allah dalam diri manusia. Karena lenyapnya fana’ sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat Ilahiah. Dalam istilah tasawuf fana’ dan baqo’ datang beriringan. Baqo’ adalah kekalnya sifat-sifat ke-Tuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqo’ ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasai diri dengan akhlak terpuji, dalam arti lain harus menempuh proses takhalli, tahalli, dan sampailah pada tajalli.

Yang dituju oleh fana’ dan baqo’ adalah mencapai persatuan secara ruhaniah dan batiniyah dengan Allah, sehingga yang disadarinya hanya Allah. Semua itu bukan berarti penyalah maknaan bahwa menganggap diri mengakukan Allah, seperti halnya banyak manusia yang salah mengartikan maksud dari konsep ittihad nya Syekh Thoifur Abu Yazid Al Bustomi, atau konsep hulul nya Syekh Husein bin Mansur Al Halaj, atau juga konsep Manunggaling Kawulo Gusti nya Syekh Siti Jenar alias Syekh Sayid Hasan Ali, ( konsep mereka ini bisa dikategorikan juga dalam konsep Wahdatul Wujud ).

Namun semua itu lebih ke fana dirinya. Apa yang ia lihat, ia dengar, ia rasakan adalah Allah dalam makna sejati bukan makna biasa, Jadi bukan mengaku Allah, karena dirinya pun sudah tidak di akukan, karena maqom keimanan ini sudah mampu melepas keakuan. Jadi Mau bagaimana mengaku Allah, bahkan mengakukan dirinya pun sudah tidak mampu.

Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerus dan juga itu semua karena ditakdirkan oleh Allah. Terkadang saat sedang fana, maka ada kalanya terjadi hal-hal bisa dikatakan aneh bahkan gila, seperti halnya muncul Sathohat Para Wali Sufi, seperti Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami saat Beliau mengatakan Maha Suci Aku.

Fana’ merupakan keadaan seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad

( penyatuan ruhaniyah dengan Allah ).

Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami menekankan dengan istilah fana’an-nafs yaitu hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu kedalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah. Jadi yang hilang adalah kesadarannya bukan jasadnya.

Dalam proses fana’ ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang yaitu sebagai berikut,

As-sakar

Adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa As di Tursina.

As-Sathohat

Secara bahasa berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar diluar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar.

Az-Zawal Al Hijab

Diartikan sebagai bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi  dan telah berada di alam ilahiyat sehingga getaran jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dari Allah.

Gholab Asy Syuhud

Tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya.

Karakteristik fana’ mistis, yakni hilangnya kesadaran dan perasaan, dimana seorang sufi tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya, dan tidak pula merasakan ke-akuannya serta alam sekitarnya.

Dalam perkembangan dunia tasawuf, terjadi adanya dua paham fana’ yaitu sebagai berikut,

Fana’ fi tauhid, yaitu kalau seeorang telah larut dalam makrifatullah, dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah.

Fana’ sebagai penyatuan dirinya dengan Allah.

Pada saat seorang sufi mencapai makrifat, maka yang dilihat oleh seorang sufi sesampainya ke tingkat ini adalah melihat Allah dengan hati sanubari, sehigga akhirnya ia bersatu dengan Allah, yang dalam istilah sufi disebut dengan ittihad

( penyatuan ruhaniyah dengan Allah ).

Akan tetapi sebelum seorang sufi dapat bersatu dengan Allah, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Allah. Penghancuran ini dalam tasawuf disebut dengan fana’.

Raden Syair Langit mengistilahkan,

“Untuk mencapai hakekat inti, engkau harus mampu menghancurkan kulit”.

Penghancuran dalam istilah sufi senantiasa diiringi dengan baqo’ (tetap, terus hidup). Fana’ dan baqo’ merupakan kembar dua yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dari paham-paham sufi’ sebagai berikut,

Jika kejahilan dari seseorang hilang (fana’), maka yang akan ditinggal (baqo’) ialah pengetahuannya.

Jika seseorang dapat menghilangkan kemaksiatannya (fana’) maka yang akan tinggal (baqo’) ialah taqwanya.

Siapa yang mampu menghilangkan sifat-sifat keburukan itu, maka ia akan mempunyai sifat-sifat Allah.

Secara Bahasa, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada. Dan baqo’ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus.

Dalam perkembangan berikutnya, terdapat suatu karakteristik fana’ yang merupakan pendapat umum dikalangan sufi, yakni hilangnya perasaan dan kesadaran dimana seorang sufi tidak lagi merasakan apa yang terjadi pada dirinya dan alam sekitarnya.

Fana’ yang dicari orang sufi ialah penghancuran diri, hancurnya perasaan atau kesadaran adanya tubuh kasar manusia.

Dalam hal ini Imam Al Qusyairi mengatakan,

“fana’nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar pada mereka dan juga pada dirinya”.


Kalau seorang sufi telah mencapai fana’, maka wujud jasmaninya sudah tidak disadarinya lagi, maka yang akan tinggal adalah wujud rohaninya. Dan ketika itu, dapatlah dia bersatu dengan Allah, dan kelihatannya persatuan dengan Allah ini terjadi langsung setelah tercapainya fana’.

Tokoh yang dipandang telah memperkenalkan faham fana’ dan baqo’ ini adalah Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami, Maha Guru Mursyid Tarekat Thaifuriyah Ma’had Thoriqotul Auliya. Hal ini dapat diketahui dari beberapa ungkapan yang dianggap ganjil oleh orang awam, yang keluar dari Beliau ketika ia mengalami fana’.

Ungkapan-ungkapan yang ganjil ini disebut dengan sathohat.

Diantara sathohat yang keluar dari Beliau ketika mengalami fana’ itu diantara lain,

“Aku tahu pada Allah melalui diriku, pada akhirnya aku hancur. Kemudian aku tahu pada–Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup.”

Dalam kesempatan lain Beliau juga berkata,

“Dia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Dia membuatku gila pada–Nya, dan akupun hidup. Aku berkata, gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada diri–Nya adalah kelanjutan hidup”.

Dalam fana’ ini juga menjelaskan bahwa gambaran tentang fana’, telah disinggung oleh Allah dalam Al-Quran, yaitu ketika Dia ( Nabi Yusuf As ) lewat didepan para wanita, dan para wanita itu terpesona akan keelokan wajah Nabi Yusuf  As, sehingga tidak terasa mereka mengiris tanganya sendiri.

“Maka tatkala wanita–wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya sendiri”.

(QS.12:31).

Ayat diatas dapat menggambarkan tentang bagaimana pesonanya seorang sufi yang mendapatkan kenikmatan tergila-gila oleh Allah, sehingga mengakibatkan ia lupa akan keberadaan dirinya. Hal ini sebagaimana para wanita itu tidak terasa melukai dirinya karena terpesona dengan keindahan wajah Nabi Yusuf As.

Menurut para sufi, fana’ adalah karunia Allah sebagai pemberian kepada hamba-Nya, itu semua diperoleh syare’atnya melalui usaha dan latihan ( tarbiyah ). Seseorang yang mengalami  keadaan fana’ bukanlah disebabkan hilangnya kesadaran, bukan karena kebodohan, dan bukan pula karena sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi Malaikat, tetapi ia fana’ dari penyaksian akan hal-hal yang berkenaan tentang dirinya.

TAUHID FANA WAL BAQO DALAM PANDANGAN AL QUR’AN

Paham fana’ dan baqo’ yang ditunjukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al-rabbi menemui Allah. Fana’ dan baqo’ merupakan jalan paling sempurna agar bisa bermakrifat kepada Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah didalam QS.Al Kahfi, ayat 110.

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا

Katakanlah, sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, "bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Allah yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya".

Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata :” Ya Allah, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?”. Allah berfirman, tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).

Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara ruhaniah atau batiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal sholeh, dan beribadah semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep tauhid fana wal baqo.


sumber : Kitab Suluk Raden Syair Langit Dan Ajaran Tarekat Thaifuriyah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Film Kolosal Prahara Keris Jala Sutra ( the series ) Karya Raden Syair Langit

  Sebuah karya film berjudul Prahara Keris Jala Sutra ( the series ) yang akan ditayangkan setiap hari jumat siang di channel youtube Lawang...