Sabtu, 13 Agustus 2022

MANAQIB KANJENG SYEKH THOIFUR BIN ISA BIN SURUSYAN ABU YAZID AL-BUSTHAMI

 


MANAQIB KANJENG SYEKH THOIFUR BIN ISA BIN SURUSYAN

ABU YAZID AL-BUSTHAMI


Tujuan dari manaqiban diantarnya adalah untuk tawasul, tabaruk, mengenal orang-orang sholeh dan untuk lebih mencinta nya.

Dalil-dalil Tentang Manaqib

Dalil mengenai Manaqib itu banyak terdapat dalam Al-Quran, semisal manaqibnya Ashabul Kahfi, Raja Dzulqurnain, Sayyidatuna Maryam, Sayyidina Luqmanul Hakim dan lain sebagainya. Adapun dalil yang digunakan hujjah untuk memperbolehkan praktek manaqib yaitu sebuah hadits yang terdapat dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin

halaman 97,

Rasulullah SAW ngadawuh,

“Barangsiapa membuat sejarah orang mukmin (yang sudah meninggal), sama saja ia telah menghidupkannya kembali, dan barang siapa membacakan sejarahnya, seolah-olah ia sedang mengunjunginya. Maka Allah akan menganugrahi ridha-Nya dengan memasukannya ke surga.”

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi,

Rasulullah SAW ngadawuh,

"Barang siapa membuat tarikh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkan nya. Dan barang siapa ziarah kepada orang alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi Muhammad Saw). Dan barangsiapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya mendapat syafa’atku esok di hari kiamat".

(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Ketahuilah seyogiyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugerah agar menjadi salah satu asbab wasilah terkabulnya doa, dan turunnya rahmat di depan para Wali, di majelis-majelis dan perkumpulan mereka, baik masih hidup atau pun sudah meninggal, di kuburan mereka ketika mengingat mereka, dan ketika orang banyak berkumpul dalam menziarahi mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka (manaqiban)".

Manfaat Manaqib

Asy-Syeikh Muhammad bin Yunus berkata,

“Tidaklah aku melihat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada mengingat riwayat hidup orang-orang sholeh.”

Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan,

“Ketika disebut-sebut orang-orang yang sholeh maka turunlah rahmat.”

Imam Junaid Al-Baghdadi berkata,

"Hikayat (kisah orang-orang sholeh) itu adalah merupakan tentara dari para tentara Allah SWT dimana Allah menetapkan hati para kekasih-Nya dengan kisah-kisah tersebut".

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dzar Al-Ghifari Ra. berkata,

“Wahai Rasulullah, ada seorang lelaki yang mencintai suatu kaum sedangkan ia tidak mampu beramal seperti amalan mereka. 

Maka Rasulullah Saw ngadawuh,

“Engkau akan dikumpulkan bersama siapa yang engkau cintai.”

Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami adalah sufi abad ke-3 Hijriyah, berkebangsaan Persia, lahir tahun 804 M/ 188 H. Nama kecilnya adalah Thoifur, sedangkan nama lengkapnya adalah Syekh Thoifur bin Isa bin Surusyan Abu Yazid Al-Busthami

Dalam literatur-literatur tasawuf, namanya sering ditulis dengan Bayazid Busthami (بايزيد بسطامى). Setelah dikaruniai seorang putra bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid.

Syekh Abu Yazid Al-Busthami sendiri adalah nisbat (ditujukan) pada daerah kelahirannya di Bistami Qumis, di daerah tenggara Laut Kaspia, Iran.

Ayahnya bernama Isa, sedangkan kakeknya bernama Surusyan, yang mana keduanya beragama Majusi (agama bangsa Persia yang mengajarkan penyembahan kepada api dan berhala), namun kemudian masuk Islam. Kedua orang tua Syekh Abu Yazid adalah muslim yang taat, sholeh, waro (sederhana dan mementingkan kehalalan rizki yang dicari dan diterima), serta zuhud (berperilaku seperti yang dilakukan para pendahulunya yang suka berbuat baik, meningkatkan hubungan dengan Allah untuk mencapai derajat yang mulia dan tinggi).

Sedang, kakaknya bernama Syekh Adam bin Isa dan adiknya bernama Syekh Ali bin Isa yang juga seorang Ulama Sufi.

Sejarah Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami semasa hidupnya sangatlah terbatas. Cerita sejarah mengenai Beliau di dapat dari tokoh-tokoh lain yang pernah berjumpa serta mencatat ucapan-ucapannya, seperti Syekh Abu Musa Al Dabili, Syekh Abu Ishaq Al Harawi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sejarah mencatat bahwa Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami tidak meninggalkan satupun tulisan, seperti halnya kita-kitab Ulama-Ulama terdahulu yang mahsyur sampai sekarang.

Saat remaja, Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami mempelajari dan mendalami Al-Quran serta hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Beliau kemudian mempelajari fikih Mazhab Hanafi (salah satu aliran metodologi fikih yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, dan merupakan salah satu mazhab yang dianut oleh kamu Sunni, Ahlusunah Waljamaah, Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, Hambaliah ), dan sebelum akhirnya menempuh jalan tasawuf.

Beliau menganut mazhab Hanafi, maka Beliau termasuk dalam golongan orang-orang yang ahli dalam memahami hukum Islam.

Sebagai orang yang mengerti hukum-hukum yang dikaji melalui fikih mazhab Hanafi, kepatuhannya pada syariat Islam sangatlah kuat. Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah pernyataan yang pernah diucapkannya. Beliau pernah berkata, "Kalau engkau melihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat, seperti duduk bersila di udara, maka janganlah engkau terperdaya olehnya. Perhatikanlah dulu apakah ia melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dan menjaga dirinya dalam batasan-batasan syari’at.

Selain itu, Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami juga pernah mengajak keponakannya, Isa bin Adam bin Isa bin Surusyan, untuk memperhatikan seseorang yang dikenal oleh masyarakat sebagai seorang yang zuhud (orang yang menolak dunia, berpikir tentang kematian, yang memandang bahwa apa yang dimilikinya tidaklah punya nilai dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Allah SWT.  Waktu itu orang tersebut sedang berada didalam Masjid dan terlihat batuk, lalu meludah ke depan, ke arah kiblat, karena menyaksikan kejadian tersebut, yang mana hal ini tidak sesuai dengan adab (akhlak) yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, maka Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami pergi dan memberikan tanggapan, "Orang itu tidak menjaga dari salah satu adab dari adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bila ia begitu, ia tidak dapat dipercaya atas apa-apa yang didakwahkannya, ucapannya tidak bisa dipercaya.

Beliau juga mengungkapkan bahwa pernah terbersit di hatinya untuk memohon kepada Allah agar dia diberikan sifat ketidak peduliaan terhadap makanan dan wanita sama sekali, tetapi hatinya kemudian berkata, "Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah SAW?", bahkan karena begitu taatnya pada ajaran Agama, Beliau menghukum dirinya sendiri jika melanggar. Beliau berkata, "Aku ajak diriku untuk mengerjakan sesuatu yang termasuk dalam perbuatan taat, namun kemudian diriku tidak mematuhinya, oleh karena itu, selama setahun diriku berpuasa.

Sejarah mencatat bahwa Syekh Abu Yazid wafat pada tahun 261 Hijriyah / 874 Masehi.

Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami menghabiskan seluruh hidupnya di kota kelahirannya, Bustham. Pernah ada yang berkata padanya, bahwa orang yang mencari hakikat hidup biasanya selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain, kemudian Beliau hanya menjawab, "Allah tidak pernah bepergian, dan karena itu aku pun tidak berhijrah (berpindah) dari sini. "Namun tidak dapat diacuhkan ketika beberapa kali ia terpaksa menyingkir dari Bistami karena munculnya tekanan dan permusuhan dari pihak yang menganggap sufisme atau tasawufnya menyimpang, tetapi hal itu hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat.

Sejarah Asal Mula Munculnya Tasawuf Sufi

Meskipun secara esensi dipraktekan sejak awal mula Islam, namun terminologi tasawuf sebagaimana dengan ilmu fiqih dan ilmu kalam, tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Istilah ini baru dikenal dimasa Syekh Abu Hasyim Al-Kufi (wafat pada tahun 160 H/776 M) karena mencantumkan kata Al-Sufi di belakang Namanya. Namun bukan berarti Beliau adalah sufi pertama, karena sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh sufi terkenal seperti Syekh Hasan Al-Basri (wafat pada tahun 110 H/728 M). Sebelum istilah tasawuf dikenal di masa awal, bentuk-bentuk tasawuf pada mulanya adalah gerakan kezuhudan (asketis) yang merupakan bentuk tertua dari sufisme.


Syekh Hasan Al-Bashri adalah seorang tabi'in yang merupakan murid dari Huzaifah bin Al-Yaman, yang merupakan sahabat sekaligus kepercayaan Nabi Muhammad SAW, dengan julukan Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah). Syekh Hasan Al-Bashri, yang sangat terkenal dengan kehidupannya yang sederhana dan zuhud, membuatnya didaulat dikenal sebagai tokoh awal sufisme. Namun, hidup sederhana dan zuhud bukanlah hal asing di masa itu, karena Nabi Muhammad SAW dan para sahabat adalah tokoh-tokoh awal yang menjalani kehidupan seperti demikian. Bahkan di masa-masa sebelum Islam, Nabi Muhammad muda kerap berkholwat di Gua Hiro untuk mensucikan dirinya dan menjauh dari masyarakat jahiliyah.

Seiring dengan munculnya berbagai cabang ilmu dalam Islam di abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, maka berkembang pula ilmu tasawuf. Berbagai ajaran tentang tasawuf pun bermunculan, namun akhlak adalah benang merah dari semua ajaran yang ada, dan hal ini dapat dipahami sebagai akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada sesama, dan akhlak kepada Allah. Hal ini dikembangkan dari tiga pilar agama dalam Islam, yakni iman islam ihsan, di mana yang terkahir, ihsan, merupakan landasan sekaligus tujuan dari praktek sufisme yang ingin dicapai ketika seorang sufi berserah diri seutuhnya kepada Allah.

Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya perihal sufi, pertanyaan itu kemudian dijawabnya sebagai berikut, "Sufi adalah orang yang tangan kanannya memegang kitabullah (Al-Qur'an), sedangkan tangan kirinya memegang sunnah Rasulullah SAW, salah satu matanya memandang ke surga dan yang lainnya memandang ke neraka, baginya dunia hanyalah sarung dan akhirat adalah mantelnya, kemudian sambil berseru, labbayka ya Allah (aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah)".

Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami adalah orang yang menempuh jalan tasawuf. Beliau mencapai keadaan ruhaniah yang luar biasa, mabuk kepayang dengan yang ia cinta, yakni Allah ‘Azawajalla, fana (sirna), merasa kekal (baqa) Bersama Allah, dan merasa bersatu denga-Nya (ittihad). Upaya untuk mencapai taraf kesufian yang tinggi itu, membutuhkan waktu yang panjang serta usaha yang cukup berat. Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami pernah berkata, "Dua belas tahun aku seperi tukang besi terhadap diriku, lima tahun aku sebagai cermin hatiku. Setahun aku memperhatikan apa yang terdapat di antara keduanya. Tiba-tiba ada belenggu di pinggangku. Lima tahun aku berusaha memutus belenggu itu sambil memikirkan bagaimana cara memutusnya, maka barulah ia putus." Pernyataan ini mengandung makna bahwa setelah berusaha selama waktu yang panjang, barulah hilang belenggunya (penghalangnya) yang merintanginya untuk mencapai hakikat atau tujuan tasawufnya yang tinggi.

Kemudian diperlihatkan lagi dalam perkataannya, "Selama tiga puluh tahun Allah adalah cerminku, maka jadilah aku hari ini cermin diriku, karena aku saat ini bukan lagi aku sebelumnya. Semua pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami bukanlah sufi yang menggampangkan kewajiban-kewajiban syariat. Sikap demikian masih dapat dilihat dalam dirinya saat ia mencapai maqom keimanan yang luar biasa, sehingga sampai mabuk cinta pada Allah.

Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami adalah sufi pertama yang membawa ajaran Tauhid Fana wal Baqo, dengan konsep ittihad, yakni suatu ajaran mengenai paham meniadakan diri (jasmani), yang mana kesadaran rohani merupakan hal yang kekal saat bersatu dengan Allah.

Diceritakan bahwa Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami pernah berkata ketika ia naik haji untuk pertama kali. Beliau berkata, yang dilihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain ia melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhannya Ka’bah. Pada haji yang ketiga, dia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhannya Ka’bah. Selain itu, juga ada catatan tentang ucapannya yang menunjukkan pengalaman fananya, bahwa Beliau berkata, "Pada hari (tahap) pertama, aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala isinya, pada hari ketiga aku zuhud terhadap apa saja selain Allah, dan pada hari keempat tidak ada yang tinggal bagiku selain Allah”.

Gambaran kesadaran Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami seperti yang diungkapkan tersebut dinamakan fana. Kemanapun ia mengarahkan wajahnya, yang terlihat oleh mata hatinya hanyalah Allah. Mata hatinya yang mengarah ke alam gaib (alam di luar dunia) terbuka. Adapun mata kepalaya yang mengarah ke alam jasmani (dunia), kendati terbuka, ia tidak melihat apa-apa. Indra-indra lahiriah yang lain tidak menangkap apa-apa, tidak merasakan panas atau dinginnya hawa, tidak pula merasakan sayatan pisau pada kaki atau tangannya.

Sufi yang sudah sampai ke taraf keadaan hanya melihat Allah dengan mata batinnya, disebut juga al arif billah.

Menurut Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami, al arif tidak melihat dalam tidurnya kecuali Allah, tidak pula dalam jaganya kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain Allah, dan tidak menyaksikan kecuali Allah.

Ciri yang mendominasi kefanaan Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami sendiri adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, yang mana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri, karena dirinya melebur dalam Dzat yang Maha Kuasa. Beliau  pernah berkata, "Aku keluar dari Yang Maha Benar menuju Yang Maha Benar dan akupun berseru, wahai Engkau yang aku! Telah kuraih tingkat kefanaan.

Meski telah mencapai tingkatan fana, Beliau tetap disiplin berpegang pada hukum-hukum Islam. Menurut Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami, seorang wali (kekasih Allah) harus tetap melaksanakan syariat, agar Allah tetap menjaga tingkat pengalaman spiritual perjalanan ruhaniyah yang pernah dicapainya.

Dengan terjadinya fana itu, berarti telah terjadi baqo. Baqo dan fana seperti dua muka dari satu lembar kertas. Baqo sendiri berarti meninggalkan kebodohan menuju pada kondisi yang mengetahui, pergi dari kebekuan hati ke pemujaan tanpa henti serta meninggalkan penilaian atas manusia yang bersifat sementara menuju ke penglihatan langsung kasih Ilahi yang abadi (kelanggengan dalam mengingat Allah)

Namun tidak semua sirna dari kesadaran sang sufi, karena masih ada yang tinggal atau yang tetap terus ada dalam kesadarannya yaitu Allah SWT. Kesadaran Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami tentang Allah tetap ada. Beliau pernah berkata, "Aku mengenal Allah melalui diriku sampai aku fana (lenyap), kemudian aku mengenal-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup. Ia telah membuatku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Dia membuatku gila pada-Nya, dan akupun hidup. Gila pada diriku adalah kefanaan, sedangkan gila pada-Nya adalah kebaqoan”. Dalam fana seorang sufi akan merasa sirna atau tenggelam dalam lautan ke-Tuhanan yang baqo, seperti tenggelamnya besi dalam lautan api yang menyala. Di saat itu sifat-sifat kemanusiaannya tidak dirasakannya lagi, yang ada hanyalah sifat-sifat ke-Tuhanan yang baqo pada dirinya. Keadaan seperti itulah yang disebut baqo, yakni merasa hidup dengan sifat Tuhan yang abadi dan kekal.

Keadaan seperti fana wal baqo itu dapat disebut sebagai ittihad (bersatu), yakni merasa bersatu dengan Allah. Setelah seseorang mencapai fana dan baqo, maka selanjutnya adalah tingkatan ittihad. Dalam kitab Futuh Al-Ghaib pada bab 17, Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani menjelaskan, "Apabila kamu telah bersatu dengan Allah, maka kamu akan merasa aman dan selamat dari apa saja selain-Nya. Kamu akan mengetahui bahwa tidak ada yang wujud (ada) selain Allah. Kamu akan mengetahui bahwa untung, rugi, harapan, takut, bahkan apa saja adalah dari dan karena Allah juga. Dialah yang patut ditakuti dan kepada Dialah (tempat) meminta perlindungan dan pertolongan. Karenanya, lihatlah selalu perbuatan-Nya, nantikanlah perintah-Nya, dan patuhlah selalu kepada-Nya. Putuskanlah hubunganmu dengan apa saja yang bersangkutan dengan dunia ini, juga dengan akhirat. Janganlah kamu melekatkan hatimu, kecuali pada Allah SWT”.

Ketika semua hubungan dunia telah diputuskan oleh seorang hamba yang telah bersatu dengan Allah, maka ia pun aka menerima kekudusan (kesucian) yang kekal, di mana tidak ada lagi cacat dan cela. Mereka menjadi orang yang dipilih Allah untuk menjadi kekasih. Namun tentang hakikat ittihad hanya dapat diketahui oleh mereka yang sudah merasakan pengalaman spiritual dalam perjalanan ruhaniahnya.

Fana, baqo, dan ittihad dapat diibaratkan seperti tiga aspek yang berbentuk satu segitiga. Pengalaman sang sufi bersatu dengan Allah dapat dipahami dari kata-kata Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami dan juga perbuatannya. Merasa bersatu dengan Allah dapat diibaratkan seperti "besi yang berada di dalam api".

Demikianlah perjalanan ruhani seorang sufi menuju Allah yang puncaknya adalah ittihad, konsep Kullu syaiin halikun illa wajhah, konsep puncak dan penutupnya ilmu, yang akan dicapai oleh orang-orang yang sudah mengerti dan mendalami Ngelmuning roso, rosone sajatining urip.

Tauhid Fana wal Baqo, Ittihad, Hulul, Manunggaling Kawulo Gusti ataupun Wahdatul Wujud, maka semua itu adalah pencapaian tingkatan iman tertinggi, yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mabuk cinta, tergila-gila kepada Allah ‘Azawajalla.


Awal munculnya ilmu tasauf ada di jaman

Syekh Hasan Al-Basri

( wafat pada tahun 110 H / 728 M )

Awal munculnya thoriqoh adalah thoriqoh Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami

( Tarekat Thaifuriyah )

( wafat pada tahun 261 H / 874 M )


sumber : Kitab Suluk Raden Syair Langit Dan Ajaran Tarekat Thaifuriyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Film Kolosal Prahara Keris Jala Sutra ( the series ) Karya Raden Syair Langit

  Sebuah karya film berjudul Prahara Keris Jala Sutra ( the series ) yang akan ditayangkan setiap hari jumat siang di channel youtube Lawang...