SEJARAH TAREKAT DIDUNIA DAN MUNCULNYA TAREKAT THAIFURIYAH
SYEKH THOIFUR ABU YAZID AL-BUSTHAMI
Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami adalah salah satu penerus Tarekat Imam Ja’far Ash-Shidiq, dari beberapa jalur tarekat.
1. Tarekat Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq yang menjadi Tarekat Naqsyabandiyah
2. Tarekat Sayidina Ali karamallahu wajhah yang menjadi cabang sanad Tarekat Syathariyah.
Dan ada juga yang menyebutkan bahwa beberapa Tarekat memiliki jalur sanad silsilah Masyaikh kepada Syekh Thoifur Abu Yazid, yang diantaranya adalah,
3. Tarekat Sayidina Ali karamallahu wajhah yang menjadi Tarekat Akmaliyah
Dan kemungkinan masih ada Tarekat-tarekat yang lainnya yang dimana sanad silsilah masyaikh-nya tersambung kepada Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami.
Sedangkan Raden Syair Langit / Abah Leuweunggede sendiri lebih cenderung menggunakan nama Tarekat Thaifuriyah, yang langsung dinisbatkan kepada Kanjeng Syekh Thoifur bin Isa bin Surusyan Abu Yazid Al-Busthami.
Berbicara tentang Tarekat Thaifuriyah, bahwasannya menurut beberapa pendapat menjelaskan Tarekat Thaifuriyah adalah Tarekat yang paling tua yang muncul di dunia Islam, yang dimana Tarekat ini dinisbatkan kepada pengajarnya yakni Syekh Thoifur Abu Yazid itu sendiri.
Diantaranya mengutip pendapat Hamka, bahwasannya Tarekat yang pertama kali muncul adalah Tarekat Thaifuriyah pada abad ke-8 Masehi di Persia sebagai suatu lembaga Pengajaran Tasawuf. Tarekat tersebut dinisbatkan kepada Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami, karena pahamnya bersumber dari ajaran Beliau.
Pendapat ini dapat diperkuat dengan bukti-bukti bahwa Tarekat-Tarekat yang muncul di Persia terutama daerah Hurazon, pada umumnya menganut paham Bayazid.
Syekh Thoifur Abu Yazid adalah seorang Waliullah yang paling makrifat di antara orang-orang yang bermakrifat. Beliau adalah seorang Wali yang luar biasa dalam hal kewaroan-nya, ilmunya, zuhudnya, taqwanya, dan keintimannya kepada Allah.
Beliau adalah Sulthanul `Arifin ( Rajanya Kebijaksanaan ), dan Syekh Ibnu `Arobi menamainya dengan Abu Yazid Al-Akbar. Syekh Faridhudin Al-Athar dalam Tadzkiratul Auliya’, menyebut namanya sebagai Abu Yazid Thaifur bin `Isa bin Surusyan Al-Busthami. Sedangkan Raden Syair Langit menyebutnya dengan Sulthonil Auliya il Ghoutsil ‘Adzom Qutbil ‘Alamina Assayidi Syekh Thoifur bin Isa bin Surusyan Abu Yazid Al-Busthami Qoddasallahu Sirrohu.
Menurut versi Abdurrahman Jami dalam Nafahat Al-Uns, beliau lahir di Bistham, tahun 188 H. (808 M.). Daerah Bistham, menurut Muhammad Ahmad Darniqah dalam Ath-Thariqah An-Naqsyabandiyah wa A’lamuha, daerah itu masuk ke wilayah Khurasan. Ayahnya seorang pedagang terpandang, dan kakeknya penganut Zoroastrian yang masuk Islam, tetapi dalam versi Abdurrahman Jami dalam Nafahat Al-Uns, Agama kakeknya disebut Yahudi dan kemudian masuk Islam. Abdurrahman Jami menyebutkan, awalnya Abu Yazid adalah ahli jadal ( ahli debat ), sampai dia dianugerahi ke-Walian, dan ia pun tidak mau menampakan keahlian debat itu lagi.
Riwayat yang menceritakan kekeramatan Syekh Abu Yazid, disebut oleh Syekh Fariduddin Al-Athar di antaranya, ketika masih kecil, ibunya memasukkan makanan yang syubhat ke mulut Syehk Abu Yazid, dan sang bayi selalu meronta, menangis, tidak mau diam sampai makanan itu dikeluarkan.
Sejak kecil oleh ibunya Syekh Thoifur disuruh belajar di sekolah Al-Qur’an. Beliau ber-khidmah dan melayani keperluan Ibunya, dan kemudian berkelana selama 30 tahun dari satu daerah ke daerah lain. Tidak kurang dari 113 pembimbing spiritual telah ditemuinya.
Ada cerita tentang Syekh Abu Yazid Al-Busthami dan Gurunya yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dituturkan dalam kitab Tadzkiratul Auliya’, Imam Ja’far Ash-Shadiq mengatakan kepada Abu Yazid yang sedang duduk, “Abu Yazid ambilkan buku dalam jendela!” Abu Yazid menyahut, “Jendela yang mana Guru?” Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Selama ini engkau selalu datang ke sini, dan engkau tidak pernah melihat jendela itu?” Abu Yazid berkata, “Tidak pernah Guru. Apa urusanku dengan jendela. Ketika aku ada di hadapanmu, aku menutup mataku dari hal-hal lain. Aku datang kepadamu bukan untuk melihat-lihat.” Imam Ja’far Ash-Shadiq kemudian berkata, “Kalau begitu, pulanglah ke Bistham, karena usahamu telah sempurna.”
Dalam cerita itu ada pertemuan dialog antara Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Imam Abu Yazid. Apakah Imam Ja’far Ash-Shadiq di sini sebagai Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad Al Baqir?, tidak diberi keterangan oleh Syekh Fariduddin Al-Athar dalam kitabnya. Akan tetapi semua biografi sufi tentang Abu Yazid tidak menceritakan angka lahirnya kecuali Jami yang menyebut angka tahun lahirnya 188 H. (808 M ), dan terjadi jarak yang tidak mungkin, karena Imam Ja’far Ash-Shadiq telah wafat sekitar tahun 148 H (765 M ).
Musykilat ( tidak lazim ) ini, kadang dibaca dalam silsilah sanad Tarekat Imam Ja’far kepada Imam Abu Yazid, oleh sebagian orang yang tidak memahami ilmu Tarekat, pasti akan menyebutnya sebagai yang tidak mungkin.
Musykilat itu, bisa dikompromikan dengan dua cara, tahun-tahun yang menceritakan Abu Yazid ada yang perlu dikoreksi, tetapi untuk hal ini kecil bisa diterima, mengingat sejumlah biografi telah menyebutkan tahun wafat dan lahirnya, dan terpaut jarak yang agak jauh dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dan kedua, Abu Yazid dan Imam Ja’far bertemu secara ruh, yang biasa terjadi dalam bimbingan sebagian para Maha Guru Sufi, dan hal ini yang bisa dipercayai. Hubungan ruh ini, dikemukakan juga oleh Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.
Abu Yazid juga diceritakan dalam Tadzkiratul Auliya’, pernah naik haji dalam perjalanan yang memakan waktu sampai selama 12 tahun, karena di setiap tempat rumah ibadah yang ditemui, Beliau selalu membentangkan sajadahnya dan mendirikan shalat dua rakaat. Setelah sampai mengunjungi kota Madinah, ia mendapatkan perintah untuk ke Bistham, agar merawat ibunya, dan pada saat itu dia sudah diikuti oleh banyak murid.
Imam Ja’far Ash-Shadiq Disiplin tasawufnya dipuji oleh banyak Maha Guru. Pencapaian tasawuf Imam Abu Yazid Al-Busthami, diakui oleh Imam Junaidi Al-Baghdadi, sebagaimana dituturkan Al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub.
“Abu Yazid di antara kita berada pada tingkat yang sama seperti Jibril di antara para Malaikat.” Selain keramat-keramatnya, kitab-kitab thabaqat sufi juga menceritakan mi’raj-nya Abu Yazid, dan di antara kita yang membahas dan menceritakan mi’raj-nya Abu Yazid adalah yang ditulis Syekh Abu Thalib Al-Makki dalam Ilmul Qulub. Perkataan-perkataan Imam Abu Yazid dikutip para ulama sufi dan dijadikan pegangan, yang saya kutip dari Al-Munawi dalam Al-Kawakibud Durriyyah dan Abdul Wahab Asy-Sya’roni dalam Ath-Thobaqatul Kubra, di antaranya, “Selama seorang hamba menyangka tentang kaum Muslimin bahwa mereka lebih jelek dari dirinya, maka dia seorang yang sombong.”
Syekh Thoifur Abu Yazid menjelaskan, “Di antara yang paling dahsyat menyebabkan para mahjubun ( orang yang tertutup ) dari Allah ada tiga.
Seorang zahid dengan kezuhudannya, seorang Abid dengan ibadahnya, dan seorang Alim dengan ilmunya.
Seorang zahid itu walaupun mengetahui dunia seluruhnya, Allah menamakannya kecil apa yang dilakukan dengan kezuhudan di dunia itu.
Seorang alim itu miskin, walau mengetahui semua apa-apa yang diberikan dari ilmu semuanya, itu hanyalah sebagian kecil saja dari apa-apa yang terlihat karena ilmunya itu.
” Dan Abu Yazid berkata: “Berbahagialah, orang yang memiliki himmah ( himmah adalah hati yang bergejolak, jiwa selalu yang bergejolak, cita-cita yang memandang jauh kedepan ) yang tunggal, dan tidak sibuk hatinya dengan apa-apa yang terlihat oleh pandangannya, dan apa yang didengarkan oleh telinganya.”
“Perselisihan para ulama adalah rahmah, kecuali dalam masalah pemurnian tauhid. Aku telah ber-mujahadah selama 30 tahun dan selama kurun waktu itu aku tidak pernah menemukan hal yang lebih berat bagi seorang hamba melebihi ilmu dan mengamalkannya.”
“Allah telah melepaskan beberapa kenikmatan dari hambanya agar dengan kenikmatan-kenikmatan (yang dikurangi) itu mereka kembali kepada Allah. Tapi anehnya mereka menyibukkan diri dengan kenikmatan-kenikmatan itu tanpa peduli lagi dengan Allah.”
“Aku melihat Allah dalam mimpiku, aku lalu bertanya kepadanya, Ya Tuhan, bagaimana saya dapat bertemu dengan-Mu.” Allah menjawab pertanyaanku itu dan mengatakan, berpisahlah dengan nafsumu dan kemarilah menemui-Ku.”
Sebelum wafat, Abu Yazid ketika ajal akan diambil, Abdurrahman Jami dalam Nafahat Al-Uns mengutip pernyataan Abu Yazid, “Tuhanku, aku tidak mengingat-Mu kecuali kelalaian, dan aku tidak berkhidmat melayanimu kecuali sejenak.” Jami juga menambahkan, “Guru Abu Yazid Al-Busthami itu ber-etnis Kurdi, dan Abu Yazid berpesan, “Kebumikan aku di kaki Guruku, demi kehormatan Sang Guru.”
Akan tetapi Jami tidak menyebutkan nama guru yang dimaksudkan itu. Menurut Jami dalam Nafahat Al-Uns, Abu Yazid wafat di Bistham, pada tahun 261 H. (874) atau 234 H, yang sekarang masuk wilayah Simnan-Iran. N. Hanif dalam Bhiografical Encyclopaedia of Sufis Central Asia & Middle East (2002), menyebut Abu Yazid wafat tahun 820 M, Abdul Wahab Syekh Asy-Sya’roni dalam Ath-Thabaqatul Kubra menyebut wafatnya tahun 261 H. (874 M ), sementara Syekh Fariduddin Athar mencatat tahun 261 H. ( 874M ) atau 264 H ( 877 M ). Setelah beliau wafat, tarekat Imam Abu Yazid dinisbatkan kepada murid-muridnya. Diantaranya yang pertama adalah Tarekat Naqsyabandiyah melalui muridnya yang terkenal bernama Syekh Abul Hasan Al-Kharaqani (w. 425 H/1034 M ), dan mengambil silsilah Guru sanad Tarekat Abu Yazid sampai kepada Sayyiduna Abu Bakar RA, yang juga dipercayai secara ruh.
Kedua, Tarekat Syathariyah, melalui murid Abu Yazid yang bernama Muhammad Al-Maghribi, dan mengambil silsilah sanad Guru Tarekat Abu Yazid sampai kepada Imam Ali Karamallahu Wajhah.
Setelah Abu Yazid wafat, Abdurrahman Jami mengutip kisah tentang munculnya Abu Yazid dalam mimpi seseorang, dan dia ditanya, “Apa yang Allah lakukan terhadap Anda? Abu Yazid berkisah dan menjawab, “Aku ditanya, hai Syekh, apa yang engkau bawa itu?” Aku pun berkata, “Jika datang seorang fakir di pintu Sang Raja, Dia tidak akan mengatakan kepadanya, “Apa yang kamu bawa?” tetapi Dia berkata, “Apa yang engkau inginkan?”
Di kalangan sufi, beberapa pernyataan yang dinisbatkan kepada Abu Yazid setelah wafat, ada yang dhohir menimbulkan kerumitan, dan ditanggapi oleh beberapa sufi paling tidak ada dua. Pertama, dikemukakan Abdurrahman Jami dengan mengutip Syekhul Islam (Abu Ismail Abdullah bin Muhammad Al-Anshari Al-Harawi) bahwa pernyataannya itu dilihat sebagai “banyak orang berdusta menisbatkan hikayat dan aforisme sufi kepada Abu Yazid.
Di antaranya (yang berdusta itu) adalah, “Aku pergi, lalu kuberdirikan kemah di kedekatan Arsy”.
Kedua, dikemukakan Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’roni dalam Ath-Thobaqat Al-Kubra dengan mengutip Abu Ali Al-Juzajani, ketika ditanya tentang beberapa kalimat yang diriwayatkan dari Abu Yazid (yang menimbulkan kerumitan), Abu Ali Al-Juzajani mengatakan, “Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Yazid. Kita menyerahkan sepenuhnya apa yang dikatakannya itu kepada Abu Yazid sendiri. Mungkin saja Beliau mengatakan semacam itu ketika dalam keadaan suka cinta kepada Allah, atau dalam kondisi tertekan. Siapa saja yang ingin meningkat ke maqam seperti maqam yang dicapai Abu Yazid, hendaknya ia melakukan mujahadah diri seperti yang dilakukan Abu Yazid. Saat itulah akan bisa dipahami apa yang dikatakan Syekh Thoifur Abu Yazid Al-Busthami”.
PENGERTIAN TAREKAT
Asal kata tarekat dalam bahasa Arab ialah "thariqah" yang berarti jalan, keadaan, aliran atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi. Dapat pula digambarkan sebagi jalan yang berpangkal dari syare’at, sebab jalan jalan utama disebut syar, sedangkan anak jalan disebut "thariq"
Tarekat ialah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi SAW dan dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, lalu turun menurun sampai kepada guru-guru. Tarekat juga bisa diartikan sebagai suatu cara mendidik, mengajar, lama-kelamaan meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para gurunya dalam suatu ikatan.
Jadi yang dimaksud Tarekat ialah suatu sistem dan cara-cara beramal atas Irsyad ( jalan yang benar ) seorang mursyid terhadapa murid-muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjalankan sunnah Rasulullah SAW secara optimal dan sungguh-sungguh.
Sufi-sufi yang melakukan Tarekat menggambarkan dirinya yang sedang mencari Tuhan bagaikan pengembara (salik). Mereka melangkah maju dari satu tahap ke tahap berikutnya. Tahapan-tahapan itu mereka menyebutnya dengan "maqamat", jalan yang mereka tempuh disebut "thariqah". Tarekat atau jalan sufi ini begitu penting sehingga seringkali Ilmu Tasawuf disebut juga dengan ilmu suluk.
TUJUAN ADANYA TAREKAT
Tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabiin secara berantai sampai pada masa kita ini.
Lebih khusus lagi tarekat dikalangan sufiyah berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji. lalu memperbanyak dzikir dengan penuh ikhlas, semata-mata untuk mengharapkan bertemu dan bersatu secara ruhaniyah dengan Allah. Jalan dalam tarekat itu antara lain terus-menerus berada dalam dzikir atau ingat terus kepada Tuhan, terus-menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.
Harun Nasution mengatakan tarekat ialah jalan yang harus di tempuh oleh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Hamka mengatakan bahwa diantara makhluk dan Khalik itu ada perjalan hidup yang harus ditempuh, inilah yang kita katakan tarekat.
Dengan memperhatikan berbagai pendapat tersebut diatas, kiranya dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tarekat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi, yang didalamnya berisi amalan ibadah dan lainnya, bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya, disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tarekat ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara ruhaniyah) dengan Tuhan.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT
Menurut Hamka, tarekat yang pertama kali muncul adalah tarekat Thaifuriyah pada abad ke-9 Masehi di Persia, sebagai suatu lembaga Pengajaran Tasawuf. Tarekat tersebut dinisbatkan kepada Abu Yazid Al-Busthami, karena pahamnya bersumber dari ajaran Abu Yazid. Pendapat ini dapat diperkuat dengan kenyataan bahwa tarekat-tarekat yang muncul di Persia terutama daerah Hurazon, pada umumnya menganut paham Bayazid.
Sejarah Islam menunjukan bahwa tarekat-tarekat sejak bermunculannya mengalami perkembangan pesat. Dapat dikatakan bahwa dunia Islam sejak abad berikutnya (1317H),pada umumnya dipengaruhi oleh tarekat. Tarekat-tarekat tampak memegang peranan yang cukup besar dalam menjaga eksistensi dan ketahanan umat Islam, setelah mereka dilabrak secara mengerikan oleh gelombang-gelombang serbuan tentara Tartar ( kota Bagdad dimusnahkan tentara Tartar itu pada 1258 M atau 656 H). Sejak penghancuran demi penghancuran yang dilakukan oleh tentara Tartar itu, Islam yang diperkirakan akan lenyap, tetapi mampu bertahan, bahkan dapat merembes memasuki hati turunan para penyerbu itu dan memasuki daerah-daerah baru. Pada umumnya sejak kehancuran kota Bagdad, para anggota tarekatlah yang berperan dalam penyebaran Islam. Tarekat-tarekatlah yang menguasai kehidupan umat Islam selama zaman pertengahan sejarah Islam (abad ke-13 samapi abad ke-18 M ). Pengaruh tarekat mulai mengalami kemunduran, serangan-serangan terhadap tarekat yang dulunya dipelopori oleh Ibnu Taimiyah (w. 1327 M/ 1728) terdengar semakin gencar dan kuat pada masa modern. Tokoh-tokoh pembaharu dalam dua abad terakhir ini pada umumnya memandang bahwa salah satu diantara sebab-sebab mundur dan lemahnya umat islam adalah pengaruh tarekat yang buruk, antara lain menumbuhkan sikap taqlid, sikap fatalistis, orientasi yang berlebihan kepada ibadah dan akhirat, dan tidak mementingkan ilmu pengetahuan.
PERKEMBANGAN TAREKAT DI INDONESIA
Berbicara tentang tarekat di Indonesia, tentu tidak akan bisa lepas dari agama Islam berasal. Islam berasal dari jazirah Arab dibawa oleh Rasulullah SAW, kemudian diteruskan pada masa Khulafaur-Rosyidin, dimana semuanya mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penyebar luasan Islam ini bergerak ke seluruh penjuru dunia. Islam datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Pembahasan tentang tarekat kadang dibingungkan dengan istilah tasawuf dan sufi. Dalam tradisi pesantren Jawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek intelektual dari suatu tarekat. Sedangkan tarekat itu sendiri lebih mengarah pada pengertian yang bersifat etis dan praktis. Sedangkan sufi, biasanya dialamatkan kepada orang yang menjalani kegiatan tarekat tersebut.
Kekurangan informasi yang bersumber dari fakta peninggalan Agama Islam, para Ulama yang kurang dan bahkan dapat dikatakan tidak memiliki pengetahuan terhadap perlunya penulisan sejarah. Tidaklah mengherankan bila hal ini menjadi salah satu sebab sulitnya menemukan fakta tentang masa lampau Islam di Indonesia. Islam di Indonesia tidak sepenuhnya seperti yang digariskan Al-Quran dan Sunnah saja, pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa kitab-kitab Fiqih itu dijadikan referensi dalam memahami ajaran Islam di perbagai pesantren, bahkan dijadikan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan pengadilan Agama.
Islam di Asia Tenggara mengalami tiga tahap,
Pertama, Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India, dan Persia disekitar pelabuhan (Terbatas).
Kedua, datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di semenanjung Malaya, dan Spanyol di Fhilipina.
Ketiga, Tahap liberalisasi kebijakan pemerintah Kolonial, terutama Belanda di Indonesia. Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, yang memungkinkan terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat.
Keterbukaan menjadikan pengaruh luar tidak dapat dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang dimilikinya, maka lahirlah dalam bentuk baru yang khas Indonesia.
Misalnya, lahirnya tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua tarekat yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasy dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia, kiranya Islam sebagai Agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan simbol kesatuan. Berbagai Agama lainnya hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia.
Keberadaan Islam di hati rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan tarekatnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya
Dari pembahsaan di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah dimana suatu jalan yang ditempuh oleh seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, kemudian didalam pelaksanaan tarekat itu sendiri ada berbagai macam cara dan sangat beraneka ragam antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya, diantaranya dengan metode, wirid atau zdikir yang keras, tarian, ratib, dan dengan musik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar