UZLAH BIDAYAH DAN UZLAH NIHAYAH
Sedulur-sedulur yang diberkahi Allah, uzlah atau (mengasingkan diri). Adalah suatu perbuatan yg termasuk disukai Allah. Karena barangsiapa yang dapat melihat nyatanya akherat dengan mata hatinya, maka dengan sendirinya akan menginginkan akherat. Ia merindukan balasan keindahan yang kelak Allah SWT berikan dan segera menganggap hina kenikmatan dan semua kelezatan duniawi yang sebenarnya terus menipu.
Begitu pun seseorang yang berakal akan mengabaikan keindahan dunia kecuali sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan seorang yang memahami akherat cenderung memalingkan dirinya kecuali demi kebenaran. Sehingga ia tidak menyibukkan diri untuk dunianya, melainkan sekedar untuk menguatkan dirinya agar bisa meniti jalan menuju akherat yang penuh ridha-Nya.
Dalam urusan uzlah, para ulama terbagi tiga saat memandang keutamaannya. Sebagian dari mereka ada yang mengutamakan uzlah dari pada bercampur dengan masyarakat. Sebagian lagi lebih mengutamakan bercampur dengan masyarakat. Sedangkan yang lainnya lagi memilih jalan pertengahan, atau dengan kata lain menentukan kapan ia harus bercampur dengan masyarakat dan kapan pula ia mesti ber-uzlah ( Konsep Madya Kanjeng Syekh Siti Jenar ).
Mereka yang memilih untuk ber-uzlah telah mendasarkan perbuatannya dengan dalil berikut,
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, bersih dan tersembunyi”
(HR. Muslim)
Mereka yang memilih bercampur dengan masyarakat mendasarkan perbuatannya itu dengan dalil berikut,
“Orang yang bercampur dengan masyarakat dan bersabar menanggung gangguan mereka lebih baik daripada orang yang tidak bercampur dengan masyarakat dan tidak bersabar menanggung gangguan mereka”
(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sedangkan mereka yang memilih jalan pertengahan tentu mendasarkan perbuatannya pada kedua dalil di atas untuk kemudian diambil sebagai kesimpulan yang terbaik. Yaitu memilih kedua hal diatas lalu di pertimbangkan dengan penuh kesadaran diri. Mereka tidak berat kepada satu diantara kedua pandangan diatas, karena baginya keduanya tidak salah dan mendatangkan manfaat.
Jika seseorang ber-uzlah maka ia akan mendapatkan manfaat seperti dapat mencurahkan waktu untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT, merenung, mengoreksi diri, bermunajat kepada-Nya, serta memikirkan tentang kekuasaan-Nya. Dan semua itu hanya bisa maksimal dilakukan saat ia mau ber-uzlah atau memisahkan diri dari keramaian manusia.
Selain itu, ber-uzlah juga dapat menyelamatkan diri seseorang dari perbuatan maksiat yang biasa ia lakukan saat bercampur dengan orang lain, seperti riya`, gibah, zinah dan kecurangan. Bisa juga melepaskan seseorang dari kejahatan manusia. Bahkan ber-uzlah dapat pula menjaga diri dari pertikaian dan kerusuhan, atau melindungi Agama dari fitnah dan mara bahaya lainnya. Ia pun dapat membantu seseorang untuk melepaskan diri dari kejahatan manusia, bahkan mengajaknya untuk terus menghilangkan ketamakan dan menjauhkannya dari kebodohan.
Hati adalah cermin diri. Selama ia bersih dari debu dan karat, maka Cahaya Ilahi dapat memantul di atasnya. Dan saat Cahaya Ilahi telah memantul dari hati yang suci, tentu jalan kebenaran dapat diketahui. Sedangkan kebahagiaan adalah sesuatu yang pasti mengikat kehidupan.
Namun, bercampur dengan masyarakat juga sesuatu yang baik dilakukan. Ini merupakan perbuatan yang dulu terus dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan hingga beliau wafat. Sebagaimana hadits berikut ini,
“Beliau (Rasulullah) mengunjungi orang sakit hingga di ujung Madinah”
(HR. At-Tirmidzi, Hakim dan Ibnu Majah)
“Beliau (Rasulullah) duduk bersama orang-orang fakir dan makan bersama orang-orang miskin”
(HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
“Beliau (Rasulullah) memuliakan orang-orang yang memiliki akhlak yang baik. Beliau mengambil hati orang-orang terhormat dengan berbuat kebajikan. Beliau menjalin silaturahim dengan kerabat beliau tanpa membeda-bedakan mereka”
(HR. Hakim)
“Tempat duduk beliau (Rasulullah) tidak dapat dibedakan dari tempat-tempat duduk para sahabat beliau, karena beliau duduk di tempat duduk terakhir yang masih kosong. Beliau paling sering duduk menghadap kiblat. Beliau selalu memuliakan orang yang masuk. Sampai-sampai kadang beliau membentangkan kain beliau sebagai alas duduk bagi orang yang tidak ada hubungan kekerabatan atau hubungan penyusuan antara ia dan beliau”
(HR. At-Tirmidzi dan Hakim)
Sehingga dengan mencermati hadits di atas, maka sikap dalam bercampur dengan masyarakat adalah tetap sebagai perbuatan yang baik, asalkan selama melakukan kontak dengan masyarakat itu seseorang dapat menjaga adab dan sopan santun. Karena setiap pribadi manusia telah di kodratkan sebagai diri yang berlaku sosial, atau dalam artian memang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia akan cenderung membutuhkan orang lain demi memenuhi kebutuhannya. Lalu mengapa pula kita menghindarinya tanpa alasan yang kuat dan benar? Padahal dengan bergaul dengan orang banyak, maka seseorang akan mengetahui perkembangan dunia dan bisa menyalurkan kebaikan, seperti membantu yang kesusahan atau memberikan nasehat , bahkan melakukan amar makruf nahi munkar. Tapi bila bercampur dengan masyarakat di rasa hanya dapat mendatangkan keburukan, maka lebih baik dihindari dengan penuh kebijaksanaan.
Rahmat Ilahi dicurahkan karena kemurahan dan kedermawanan-Nya. Ia akan abadi di terima, oleh hati yang siap menyambutnya dengan penuh semangat dan keikhlasan. Sehingga orang yang telah sadar, baik melalui dirinya sendiri atau pun melalui bantuan orang lain, akan mendapatkan kenikmatan yang tiada terkira. Ia juga akan memandang segala sesuatunya dari manfaat dan kerugiannya. Sehingga ia pun terus berjalan dalam langkah yang benar dan ada dalam ridha-Nya.
“Keselamatan adalah ketika rumahmu mencukupimu, kamu menahan lidahmu, dan kamu menangisi dosamu” (HR. At-Tirmidzi)
Sedulur-sedulur yang diberkahi Allah, dengan mencermati semuanya, maka bercampur dengan masyarakat adalah baik untuk dilakukan, sepanjang ia tidak melalaikan seseorang dari urusan yang menjadi ketentuan-Nya. Namun demikian, ber-uzlah pun amatlah baik untuk dilakukan. Terutama pada saat kini, dimana serangan dari tipu daya duniawi terus merangsek masuk ke dalam setiap lini kehidupan. Siapa saja dapat dengan mudah mengakses informasi dan gemerlapnya kesenangan duniawi. Sehingga jika tidak hati-hati, yang tertinggal hanyalah kemaksiatan dan perbuatan dosa yang kian menggunung.
Untuk itu, sudah saatnya kita sering ber-uzlah dengan penuh kesadaran demi kebaikan diri. Cukupkanlah setiap kebutuhanmu agar dapat menjalani kehidupan ini secara normal. Jangan berlebih-lebihan dalam menuruti setiap keinginan dari hawa nafsu, karena ia cenderung mengajakmu untuk melanggar semua aturan dan ketetapan-Nya. Abaikan saja dia bila telah merayumu untuk keluar dari jalan syari’at, sebagaimana peringatan Rasulullah SAW berikut ini,
“Orang yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah dari kalian adalah orang yang paling lama menahan lapar dan merenung. Dan orang yang paling di benci oleh Allah adalah orang yang banyak tidur, banyak makan dan banyak minum”
(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
“Berpakaianlah, minumlah dan makanlah setengah perut. Sesungguhnya hal itu adalah salah satu sifat kenabian” (HR. Dailami)
Uzlah Nihayah adalah raganya tetap bercampur dengan manusia, tetapi hatinya menghindar dari tipuan dunia.
Uzlah Bidayah adalah raga dan hatinya menghindar dari bercampur dengan manusai serta tipu muslihat dunia.
Dan Rasulullah SAW sering melakukan kedua uzlah tersebut.
Seseorang bertanya kepada Nabi, "siapakah manusia yang paling utama wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah". Lelaki tadi bertanya lagi, "lalu siapa?" Nabi menjawab: "Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah, di gunung-gunung, demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan manusia".
(HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).
Dawuhan Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Amr Al-Juhani ketika ia berkata,
“Ya Rasullullah, bagaimana cara keselamatan itu?” Nabi SAW menjawab, “cukuplah engkau tinggal di rumahmu, rawatlah lidahmu (dari perkataan buruk), dan tangisilah dosamu.
sumber : Kitab Suluk Raden Syair Langit Dan Ajaran Tarekat Thaifuriyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar